Sirah Nabi 11 – ‘Abdullah dan Aminah, Orang Tua Nabi ﷺ



Sirah Nabi 11 – ‘Abdullah dan Aminah, Orang Tua Nabi ﷺ

Sirah Nabi 11 – ‘Abdullah dan Aminah, Orang Tua Nabi ﷺ

Sirah Nabi 13 – Persusuan Nabi ﷺ
Sirah Nabi 9 – Kisah Tentara Bergajah
KISAH ISLAM LUKAS, PEMUDA DARI JERMAN
Nabi ﷺ yang mulia dilahirkan dari pernikahan ayah beliau ‘Abdullāh bin ‘Abdil Muththalib dengan Aminah bintu Wahhāb. Disebutkan di dalam sejarah bahwasanya:
‘Abdul Muththalib bernadzar bahwa, “Apabila saya punya anak, 10 diantaranya laki-laki maka saya akan sembelih salah satunya.” Pada zaman jahiliyyah, bersumpah merupakan salah satu bentuk bersyukur kepada Allāh. Kenapa Abdul Mutthalib sampai berani bernadzar demikian? Karena pada saat menggali sumur zamzam, ‘Abdul Muththalib baru memiliki seorang anak yaitu Al-Hārits. Sehingga ketika dia diusik oleh orang-orang Arab yang lain dia tidak bisa melawan, sebab anak laki-lakinya hanya satu. Karena itu dia berangan-angan mempunyai 10 anak laki-laki.
Akhirnya Allāh mengabulkan sumpahnya[1], sehingga dia harus menjalankan nadzarnya. Akhirnya dia mengundi untuk menentukan siapa anaknya yang akan disembelih, maka keluarlah nama ‘Abdullāh, padahal dia sangat sayang kepada ‘Abdullāh. Saat itu Abdul Muthalib mengatakan: “Ya Allāh, dia atau 10 ekor unta?” Kemudian dilemparkanlah nama anaknya dan unta. Maka yang keluar nama ‘Abdullāh. Maka dia berkata lagi: “Ya Allāh, anakku atau 10 ekor unta?” Dilemparkan lagi nama anaknya tersebut dan unta, ternyata keluar lagi nama ‘Abdullāh. Sampai lemparan yang ke-10 barulah keluar nama unta. Dari situlah akhirnya dia tidak jadi menyembelih anaknya yaitu ‘Abdullāh dan menggantinya dengan 100 ekor unta. Dari sinilah para ulama menjelaskan bahwa apabila seseorang membunuh orang lain kemudian dia diwajibkan membayar diyat (denda/tebusan pembunuhan), maka dia harus membayar dengan menyembelih 100 ekor unta.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjaga ‘Abdullāh, karena ‘Abdullāh adalah bapaknya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Adapun ibunda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, bernama Āminah bintu Wahb bin ‘Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Nasabnya bertemu dengan nasab ayah Nabi pada Kilab.
Ada riwayat-riwayat dusta tentang ‘Abdullāh, diantaranya disebutkan bahwa tatkala ‘Abdullāh sudah menikahi Āminah ternyata dia memiliki istri yang lain. Ada yang mengatakan ‘Abdullāh memiliki pacar wanita pezina atau wanita yang ditawarkan kepadanya untuk digauli. Pada bab lalu telah dijelaskan, suatu pernikahan yang dinamakan dengan istibdha, yaitu seorang lelaki memiliki istri yang tatkala istrinya haidh, ditunggu sampai bersih lalu diberikan kepada laki-laki yang dianggap nasabnya baik agar dia memiliki keturunan yang bagus, setelah itu dikembalikan kepada suaminya dan ditunggu sampai istrinya hamil kemudian digauli oleh suaminya sendiri.
Ada juga riwayat yang lemah dan palsu yang menyebutkan bahwa ‘Abdullāh ketika mendatangi wanita ini (istrinya yang lain atau wanita pezina atau istri orang lain yang minta digauli), wanita ini melihat ada cahaya di wajah ‘Abdullāh, namun ‘Abdullāh tidak sempat menggauli wanita tersebut dan malah pergi menggauli Āminah istrinya. Setelah menggauli Āminah maka ‘Abdullāh kembali ke wanita tadi, ternyata cahayanya sudah hilang dan wanita itu pun menolaknya.
Ini adalah contoh kisah-kisah dengan riwayat yang lemah dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil (Lihat As-Sirah An-Nabawiyah As-Shahihah 1/94-95).
Sebagian orang terlalu ghuluw (berlebih-lebihan) dalam masalah ini, ingin menjelaskan bahwasanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam itu bercahaya, dimana cahaya tersebut berasal dari ayahnya. Kemudian tatkala ayahnya berhubungan dengan ibunya maka cahaya tersebut menetap di Nabi. Maka ini adalah kisah yang ghuluw dan tidak benar. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memang bercahaya tetapi bukan cahaya sebagaimana sinar yang keluar dari tubuhnya. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman tentang Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
 يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا (45) وَدَاعِيًا إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُّنِيرًا
“Wahai Nabi, Kami mengutus engkau sebagai pemberi saksi, sebagai pemberi kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan (45) Dan menyeru kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan sebagai lampu yang bercahaya (46) [Al-Ahzāb 45-46]
Benar bahwa Nabi sifatnya bercahaya (memberi cahaya), tapi maksud Allāh bukan seperti cahaya lampu yang sebenarnya, tetapi ajaran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah yang penuh dengan cahaya.
Oleh karena itu, sebagian orang berlebih-lebihan terhadap Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Mereka mengatakan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak mempunyai bayangan, karena tubuh beliau bercahaya sehingga ketika terkena sinar matahari, sinar matahari tersebut terpantulkan kalah dengan cahaya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Namun kisah semacam ini tidaklah benar. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bercahaya biasa, yaitu wajah beliau indah, luar biasa tampan, beliau putih dan indah dipandang, namun bukan bermakna ada sinar yang keluar dari tubuh beliau.
Perhatikanlah persaksian bunda ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā dalam Shahīh Bukhari dan Shahīh Muslim di bawah ini
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ : كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم -وَرِجْلايَ فِي قِبْلَتِهِ- فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي , فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ ، وإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا ، وَالْبُيُوتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيهَا مَصَابِيحُ
‘Āisyah berkata: “Saya tidur di depan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, tatkala beliau akan sujud maka beliau memegang kakiku (agar kaki ‘Aisyah dilipat supaya ada tempat untuk sujud Nabi, karena rumah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam kecil –pen), tatkala itu rumah-rumah tidak ada lampunya. (HR Al-Bukhari no 382 dan Muslim no 512)
Seandainya rumah ‘Āisyah ada lampunya maka ‘Āisyah akan menarik kaki Nabi sebelum beliau sujud, namun ‘Āisyah menarik kakinya menunggu disentuh oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Kalau seandainya tubuh Nabi bercahaya seperti lampu, ‘Āisyah tidak perlu menunggu disentuh terlebih dahulu agar menarik kakinya. Oleh karena itu, yang bercahaya adalah ajaran beliau dan bukan tubuhnya yang bercahaya.
Dalam hadits yang lain, ‘Āisyah terjaga di malam hari kemudian dia mencari suaminya. Tiba-tiba ‘Āisyah memegang kaki Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan Nabi pada saat itu dalam keadaan sujud.
‘Āisyah berkata :
فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
“Aku kehilangan Rasulullah pada suatu malam dari tempat tidur, maka akupun mencari beliau. Lalu tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau, sementara beliau sedang sujud, dan kedua telapak kaki beliau dalam kondisi tegak berdiri.” (HR Muslim  no 486)
Kalau seandainya Nabi bercahaya maka tidak perlu mencari-cari Nabi karena dengan sendirinya akan nampak. Namun jika yang dimaksud cahaya disini bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam putih adalah tampan maka ini benar. Tetapi kalau keluar lampu atau sinar dari beliau, maka ini tidak benar.
Oleh karena itu, orang-orang musyrikin zaman dahulu mengejek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, mereka mengatakan:
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيراً
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Rasūl (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat itu) memberi peringatan bersama dia’.” (QS Al-Furqān : 7)
Jadi, orang-orang musyrikin zaman dahulu berangan-angan kalau Rasūl itu dari kalangan malaikat. Sekiranya dari tubuh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam keluar cahaya maka semua akan beriman, karena ini adalah mu’jizat. Realitanya adalah dari tubuh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidaklah keluar cahaya seperti yang dikatakan sebagian orang. Dan para Rasul seluruhnya pun demikian.
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ۗ 
“Dan Kami tidak mengutus para Rasūl sebelummu (Muhammad) kecuali mereka memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar (sebagaimana manusia yang lain).” (QS Al-Furqān : 20)
Oleh karena itu, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala melempar jumrah saat musim haji, para shāhabat menaungi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan baju karena Nabi kepanasan.
Ummu Hushoin radhiyallahu ‘anhaa berkata :
حَجَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ، فَرَأَيْتُهُ حِينَ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ، وَانْصَرَفَ وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ وَمَعَهُ بِلَالٌ وَأُسَامَةُ أَحَدُهُمَا يَقُودُ بِهِ رَاحِلَتَهُ، وَالْآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ عَلَى رَأْسِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشَّمْسِ
“Aku berhaji wadaa’ bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akupun melihat beliau tatkala beliau melempar Jamrotul ‘Aqobah beliau berlalu sambil menaiki tunggangannya. Bersama beliau ada Bilal dan Usamah, salah satunya menggiring tunggangan beliau, dan yang lainnya mengangkat bajunya di atas kepala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena terik matahari.” (HR Muslim no 1298)
Seandainya tubuh Nabi bercahaya dan cahayanya memantulkan kembali cahaya matahari tersebut maka Nabi tidak akan kepanasan, karena cahaya matahari kalah dengan cahaya Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Cerita-cerita ini merupakan kisah yang lemah. Selain itu cerita-cerita ini merupakan bentuk celaan terhadap ‘Abdullāh, bapak Nabi, seakan-akan bapaknya Nabi memiliki istri simpanan atau bergaul dengan pezina atau menerima wanita yang menuntut istibdha’ (ingin mencari bibit unggul). Kisah-kisah seperti ini tidak bisa dijadikan dalil.
‘Abdullāh kemudian menikah dengan Āminah bintu Wahb dan istrinya akhirnya mengandung Nabi. Disebutkan bahwasanya bapak Nabi yaitu ‘Abdullāh ketika sedang berdagang ke negeri Syam, beliau mampir ke kota Madinah kemudian sakit dan meninggal dunia lalu dikuburkan di Madinah. Ketika itu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam masih dalam keadaan janin. Diantara hikmah Allāh Subhānahu wa Ta’āla, adalah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan dalam keadaan yatim sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebutkan dalam Al-Qurān:
أَلَمْ يَجِدك يَتِيمًا فَآوَى
“Bukankah Allāh Subhānahu wa Ta’āla mendapati engkau dalam keadaan yatim maka Allāh menaungimu.” (QS Adh-Dhuhā : 6)
Keyatiman yang sempurna adalah seseorang yang lahir dalam keadaan ayahnya sudah tidak ada. Ada pula orang yang status yatimnya menyusul, dia lahir di saat ayah dan ibunya masih hidup namun seiring berjalannya waktu ayahnya kemudian meninggal. Namun yatimnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah yatim yang sempurna dimana Muhammad dilahirkan pada saaat ayahnya sudah tidak ada.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وَهَذَا أَبْلَغُ الْيُتْمِ، وَأَعْلَى مَرَاتِبِهِ
“Ini adalah keyatiman yang paling puncak dan tingkatan yang tertinggi” (Al-Bidayah wa an-Nihaayah 3/383)
Kemudian tidak lama setelah itu ibunya juga meninggal dunia di saat beliau masih kecil.
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dilahirkan setelah ayahnya meninggal dunia. Para ulama menyebutkan hikmahnya yaitu:
⑴ Ada yang mengatakan bahwasanya agar tidak terjadi tuduhan yang mengatakan bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diajari oleh ayahnya, sementara kita tahu bahwa ayahnya berada dalam praktek kesyirikan, sebagaimana adat jahiliyyah, sehingga bisa jadi ada yang menuduh dengan berkata, “Apa yang dibawa Muhammad adalah dari adat jahiliyyah.” Namun Allāh ingin Dia yang langsung mengurus Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, sehingga tidak perlu kepengurusan ayahnya.
⑵ Ada yang mengatakan agar Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak punya hutang budi kepada ayahnya.
⑶ Ada yang mengatakan bahwa untuk memberi pelajaran kepada anak yatim bahwasanya keyatiman bukanlah halangan untuk mencapai keberhasilan.
Apabila kita perhatikan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dirawat oleh ibunya dalam waktu yang cukup lama dan dirawat dengan sangat baik maka ini membuktikan bahwa peran ibu sangatlah penting. Apabila kita menengok sejarah para Nabi, kebanyakan mereka juga dirawat oleh ibu-ibu mereka, diantaranya:
  • Nabi Mūsa, di dalam Al-Qurān disebutkan bahwa ibunyalah yang mengurusnya.
  • Nabi ‘Īsa, yang diurus oleh ibunya Maryam.
  • Nabi Isma’il dirawat oleh Ibunya Haajar dan jauh dari ayahnya Ibrahim ‘alaihis salam
Karena itulah, peran ibu dalam mendidik anak amat sangat penting. Suatu hal yang penting pula, bahwa apabila seseorang hendak menikah agar mencari istri yang shālihah. Karena keberhasilan anak sangat tergantung kepada keberhasilan seorang ibu. Banyak ulama yang lahir dari tarbiyah/didikan ibu-ibu mereka.

[1] Abdul Muthholib dianugerahi 10 putra dan 6 putri.
10 putra tersebut adalah : 1. Al-Haarits (putra tertua) dan ibunya adalah Shofiyyah binti Jundub, 2. Az-Zubair dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah, 3.’Abdul ‘Uzza (yang dikenal dengan Abu Lahab) dan ibunya adalah Aminah binti Haajr, 4. Al-Muqowwam dan ibunya adalah Haalah, 5. Dhiror dan ibunya adalah Natlah, 6. Abu Tholib dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah, 7. Hajl dan ibunya adalah Haalah binti Wuhaib, 8. Abdullah (ayah Nabi) dan ibunya adalah Fathimah binti ‘Amr Al-Makhzumiyah (yang menunjukan bahwa Abdullah saudara kandung seayah seibu dengan Az-Zubair dan Abu Tholib), 9. Hamzah dan ibunya adalah Haalah binti Wuhaib, 10. Al-‘Abbas dan ibunya adalah Natlah
Adapun 6 putri tersebut adalah :  1. Shofiyyah, 2. Ummu Hakim (yang dikenal dengan Al-Baidhoo’), 3. ‘Atikah, 4. Umaimah, 5. Arwa, dan 6. Barroh
(lihat Al-Lu’lu’ al-Maknuun fi shirat An-Nabiy al-Makmuun 1/62-63)

Jakarta, 06-02-1439 H / 27-10-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

 COMMENTS

WORDPRESS: 1
  • comment-avatar
    Khairunnisa 1 year ago
    Bismillah.
    Assalamu’alaykum Ustadz. Maaf mengganggu. Ada hal penting yg ingin saya tanyakan menyangkut status pernikahan.
    Saya adl wanita ygaudah menikah dan Alhamdulillah skrg sedang hamil 9 bulan. Tinggal menunggu hari jelang kelahiran anak pertama saya.
    Di awal pernikahan, saya mendapati suami saya lalai pd shalat. Ia hanya shalat dirumah, itupun sering menunda hingga hampir habis waktu. Bahkan pernah sampai habis waktu sehingga di qadha dgn shalat setelahnya. Sejak awal2 tahun ini, setelah suami saya memiliki usaha ygdikerjakan sendiri, dia mulai jarang shalat dgn alasan sibuk atau repot kalau pekerjaan terpotong waktu shalat. Kadang pekerjaan ini mengakibatkan dia harus kotor sehingga repot untuk shalat krn harus membersihkan badan terlebih dahulu.
    Seiring berjalannya waktu, kini suami saya telah meninggalkan shalat sama sekali. Bukan hanya 5 waktu tp juga shalat juma’at dan puasa ramadhan. Sebagai istri saya turut terpengaruh, sehingga saya pun akhirnya meninggalkan shalat bersamanya.
    Qaddarullah menjelang lahiran saya pulang kerumah org tua. Di rumah ortu shalat saya kembali terjaga, krn ortu sll mengingatkan ketika waktu shalat tiba. Juga sll menegur bila tampak saya menunda shalat setelah waktunya tiba.
    Hari ini saya saya membaca tulisan yang menyebutkan bahwa meninggalkan shalat dgn sengaja tanpa uzur syar’i baik krn malas atau krn mengingkari kewajiban shalat, maka ia telah kafir.
    Dan status pernikahan antara wanita muslimah dgn suami yg meninggalkan shalat tsb menjadi batal. Apabila suami bertaubat dan merujuk telah lewat masa iddah, maka harus menikah dgn akad baru.
    Mengingat saya hanya menghitung hari jelang persalinan In Syaa’a Allah. Bila status pernikahan kami batal, maka masa iddah saya akan segera berakhir bila suami blm bertaubat.
    Mohon penjelasannya Ustadz. Saya sangat butuh pada penjelasan ini sebagai bentuk kehati2an dlm menjalankan syari’at.
    Jazaakallahu khayran
  • Komentar

    Postingan populer dari blog ini

    Wah, kalau di Jakarta melakukan hal kaya gini bakal jadi kontroversi gak ya? via VIVAlog

    MAKALAH IMPLEMENTASI STRATEGI

    TNI-Polri Bersama Warga Perbaiki Tanggul Jebol