SANTRI : kiai, kan ada hadist "man roa munkaron fal yughorhu bi yadih
SANTRI : kiai, kan ada hadist "man roa munkaron fal yughorhu bi yadih, fainlam yastathi' fabi lisanih, fainlam yastathi' fa bi qolbih, wadzaalika adh'aful iman"
KIAI : kau artikan coba! aku ingin dengar,
SANTRI : siapapun yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan menggunakan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya iman.
KIAI : dari mana kau dapat terjemahan itu?
SANTRI : dari buku terjemah kiai,
KIAI : nak, kalimat "yad" dalam "bi yadih" itu jangan kau terjemahkan memakai makna alih bahasa, ia hanya pantas diterjemahkan dengan menggunakan metoda ta'wil, "yad" disana tidak berarti "tangan" tetapi berarti "kekuasaan", jadi barang siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan kekuasaan yang dia miliki, jika seperti ini maka ini wilayah penegak hukum, bukan wilayah dirimu selaku personal, kalau pake terjemahanmu itu akan berakibat orang menilai secara subjektif setiap kemunkaran yang dia lihat tanpa analisa hukum yang jelas. jangan main hakim sendiri nak!
lalu "fa in lam yastathi' fa bi lisanihi" ketika tidak mampu maka memakai lisan, inilah wilayah ahli ilmu, para ulama yang harus berkoordinasi dengan penegak hukum atau penguasa itu, karenanya Imam Ghazali mengatakan bahwa ulama itu penasihat penguasa, ingat ya penasihat, bukan pengambil keputusan,
lalu "fa in lam yastathi' fa bi qolbihi" ketika tidak mampu maka cukup yakinkan dalam hati bahwa perbuatan munkar yang kita lihat itu tidak patut ditiru apalagi kita jadikan rutinitas, inilah selemahnya iman karena ilmu tak punya, kekuasaan pun tak punya, lemah lah gerakan hidupnya.
SANTRI : ah panjang ternyata kiai,
KIAI : makanya jangan bosan mencari sudut penafsiran yang lain sebelum kau tenggelam dalam tafsirmu sendiri!!
Komentar
Posting Komentar