Diary untuk Anakku #2
Shitmen System
~ Ata pupu ta'an to'u. Iki lewo soga tana
Diary untuk Anakku #2
25SundayMar 2018
Posted Diary untuk Anakku
in
Depok, 25 Maret 2018
Hai Nak, apa kabar di dalam sana? Maaf Ayah dan Ibu belum bisa memberimu nama. Belum terpikirkan. Nanti akan tiba saatnya kami, juga Kakek dan Nenekmu mungkin, berdiskusi memikirkan sebuah nama untukmu. Sampai tiba saat itu, biarlah sekarang kami memanggilmu “Anak” karena dari segala nama di dunia ini, sebutan itulah yang mendekatkan kita. Sama halnya dengan sebutan “Ayah” dan “Ibu” -sebutan yang berarti mempunyai- untuk kami berdua.
Tiga hari yang lalu, 22 Maret adalah hari ulang tahun yang ke 22 untuk Tata Nia. Sudah lebih dari seminggu ia menemani Ibumu di rumah, Nak. Menemani kamu juga karena Ayah yang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Berangkat selepas Subuh dan pulang bersama Muadzin yang berangkat ke Masjid, juga untuk adzan Subuh. Kekuatan Ayah hanya dari pelukan Ibumu sambil mengelus-elus perutnya. Bertukar sedikit cerita tentang kegiatan masing-masing, lalu tertidur di samping Ibumu. Sesekali jika Ayah terjaga, Ibumu masih dengan posisi yang sama, belum tertidur.
“Kenapa gak tidur, Dek? Mual?” “Nggak. Aku cuma mau lihat kamu.” “Kan tiap hari bisa dilihat. Sekarang istirahat, sayang.” “Sebentar lagi kamu berangkat kerja. Waktu yang sedikit ini biar aku pake untuk lihat kamu. Setelah kamu berangkat, nanti aku tidur.”
Ayah kembali memeluk Ibumu. Beberapa detik kemudian, tertidur lagi. Benar kata Dilan, rindu itu berat. Karena butuh kekuatan fisik yang baik bahkan untuk sekedar memandang orang yang dirindukan. Ayah tidak pernah membenci pekerjaan, berusaha untuk bersyukur, tetapi di detik inilah Ayah merasa ingin marah. Merasa ingin seperti orang lain yang mempunyai jam kerja lebih jelas untuk menghabiskan waktu bersama keluarga.
Itulah mengapa dua minggu yang lalu Ayah menelpon Nenekmu di Larantuka. Menanyakan kabar, bertukar cerita, lalu meminta Tata Nia untuk ke Jakarta, menemani Ibumu yang sendirian di rumah. Tata Nia cukup tanggap dalam hal menemani Ibumu, ia bisa menjadi teman masak, teman cerita, teman menonton TV, teman mencari barang-barang online, dan teman membaca buku. Yang Ayah tidak sadari adalah sehebat apapun Tata Nia, dia tidak bisa menggantikan sosok Ayah di samping Ibumu, walaupun darah kami berasal dari dua orang yang sama. Waktu selepas makan malam tetap menjadi sesuatu yang kosong untuk Ibumu. Dan sialnya, Ayah tidak bisa mengisi itu hingga dinihari tiba. Dan seperti biasa, yang bisa Ayah lakukan selepas pulang hanya menanyakan kabar, bercerita sedikit, kadang menyempatkan mengambil segelas air untuk Ibumu, kemudian tertidur di sampingnya.
Hingga tibalah pada malam yang Ayah sesalkan. Jam di kamar kami menunjukkan pukul 3.35 pagi. Ibumu belum bisa tidur. Ia menangis kesakitan karena bagian kiri kepalanya sakit luar biasa. Ayah juga mengantuk luar biasa. Seminggu lebih tidak pernah mendapatkan waktu tidur lebih dari 4 jam. Berkali-kali Ayah tertidur tapi berkali-kali itu juga terbangun karena Ibumu kesakitan. Ayah coba peluk, mengelus kepalanya tetapi tidak mengubah apa-apa. Ibumu tetap kesakitan. Lalu, di kali yang kesekian, Ayah bangun dan menggerutu. Tidak lagi menyentuh Ibumu seperti sebelumnya, Ayahmu yang bodoh ini malah meninggalkan kamar dan tidur di ruang tengah. Seorang laki-laki yang hanya memikirkan dirinya. Menggerutu akan waktu istirahatnya. Yang tidak mampu protes ke dunia sana hingga yang harus menerima protesnya adalah istri yang sedang mengandung anaknya, yang selama 24 jam menahan mual dan sakit. Sedang, suaminya malah memilih keluar kamar dan tidur di ruang tengah. Suaminya yang bodoh.
Ayah terbangun karena adzan Subuh pagi itu terdengar berbeda. Adzan Subuh diselingi suara tangis seorang perempuan. Ayah membuka pintu kamar. Ibumu menangis di sana. Itulah detik Ayah membenci diri sendiri. Menyesal. Ayah coba tenangkan Ibumu, Nak. Berharap ia mau memaafkan suami bodohnya ini. Ibumu hanya diam. Ayah memeluknya. Diam. Ayah mencium keningnya, pipinya. Diam. Ayah menyeka air matanya. Diam. Ayah membelai kepalanya. Diam. Ayah pamit berangkat kerja. Diam. Ayah hendak menutup pintu kamar, lalu suara itu terdengar.
“Jika istrimu sakit, bawa dia ke rumah sakit. Bukannya mengeluh dan menyuruhnya pergi.”
Kalimat itu, Nak. Kalimat paling menyakitkan dari segala yang paling sakit. Kalimat paling mencabik dari segala yang paling tidak baik. Empat jam yang lalu, Ayah tidak membayangkan harus berangkat kerja dengan pengantar kalimat seperti itu. Suami paling bodoh sedunia. Ayah dan Ibumu adalah dua orang yang sedikit pandai berkata-kata. Itulah mengapa setiap ada masalah tidak pernah muncul kata-kata makian, yang muncul adalah macam-macam majas yang efeknya lebih sakit dari segala makian digabung dalam satu kalimat.
Di tempat kerja, Ayah mendengar kabar dari Tata Nia. Ibumu masuk IGD. Lemas. Di dalam studio yang begitu dingin, mata Ayah terasa panas, tidak tahu harus berbuat apa. Ayah menghubungi Ibumu, tidak ada jawaban. Di sela tawa program acara baru di televisi itu, Ayah menyembunyikan air mata. Menyesal sejadi-jadinya. Beruntunglah di sana ada Tata Nia dan Om Kukuh yang menemani Ibumu. Kata mereka semua baik-baik saja. Rasa sakit di kepala itu adalah hal wajar karena perubahan hormon karena mengandung. Harusnya Ayah yang di sana. Di samping Ibumu, memegang tangannya, mengelus kepalanya, menyeka air matanya.
Ayah pulang ketika sudah berganti hari, setelah kaki kiri dilindas oleh ban Avanza di tengah kemacetan Jakarta. Salah Ayah juga, terlalu banyak pikiran di kepala hingga tidak sadar posisi Vespa berhenti terlalu mepet di sebelah Avanza itu. Ayah tiba di rumah. Tata Nia sudah tidur di kamarnya. Ayah membuka pagar yang memang tidak dikunci oleh Ibumu. Mengetuk pintu depan. Samar dari kaca jendela, Ayah melihat Ibumu berjalan ke arah pintu. Ayah tak sanggup menatapnya lebih lama. Sambil menunggu, Ayah mengumpulkan keberanian untuk nanti menanyakan kabarnya. Basa-basi tentang makan apa tadi, atau juga tentang acara TV atau buku yang mungkin sedang Ibumu baca sambil menunggu Ayah pulang. Pintu dibuka. Dan hal pertama yang Ayah lihat dari Ibumu adalah senyumannya. Iya, Nak. Senyuman Ibumu, lengkap dengan lesung pipi di wajahnya yang mulai tembem. Senyuman yang tidak bisa ditiru oleh Angelina Jolie atau Miss Universe pembawa botol You C 1000 sekalipun. Untuk kesekian kalinya, Ayah bersyukur bisa menikah dengan Ibumu. Sebelum Ayah berkata apa-apa, Ibumu sudah duluan mengucap kata maaf sambil memberikan foto hitam putih dengan objek terindah di dunia.
“Ukurannya masih 1,26 cm. Usianya 7 minggu 3 hari.”
Ayah tidak bisa menyembunyikan haru. 1,26 cm itu berarti kamu sudah berkembang 0,96 cm dari hasil USG sebelumnya.
“Kata Dokter, janinnya sehat. Tadi sudah terdengar detak jantung.”
Walaupun Ayah masih bingung penjelasan ilmiah dari sesuatu yang berukuran 1,26 centimeter tetapi memiliki denyut jantung. Namun itu tidak lagi penting ketika Ayah bisa memelukmu dan Ibu sekaligus. Ayahmu ini adalah Ayah terbodoh sedunia yang memiliki istri terhebat sedunia. Malam itu, Ibumu tertidur di samping Ayah. Di dalam pelukan yang Ayah siapkan senyaman mungkin. Ayah menatapnya hingga adzan Subuh berkumandang.(alk)
Advertisements

Komentar
Posting Komentar