Kami ingin bertanya, bagaimanakah hukum uang kertas? Apakah sah digunakan dalam bertransaksi? Apakah terkandung serta mencakup unsur riba? Terima kasih.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Suara Nahdlatul Ulama
Status Uang Kertas di Kalangan Ahli Fiqih
Rabu, 22 Maret 2017 22:05Bahtsul Masail
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Kami ingin bertanya, bagaimanakah hukum uang kertas? Apakah sah digunakan dalam bertransaksi? Apakah terkandung serta mencakup unsur riba? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Fahri Adnan/Bogor)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Jika dicermati, maka pertanyaan yang diajukan kepada kami terkait dengan kedudukan hukum uang kertas sebagai alat transaksi dan kandungan ribawinya.
Sedangkan sekarang ini yang diberlakukan sebagai mata uang atau alat tukar untuk melakukan transaksi di masyarakat umum adalah uang kertas. Berbeda dengan dulu di mana emas atau perak yang digunakan sebagai alat tukar atau transaksi.
Dengan kata lain, mata uang emas atau perak sudah tidak berlaku pada saat ini. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah kedudukan atau status hukum uang kertas sama emas atau perak?
Pertama, yang harus dipahami adalah pengertian tentang uang. Uang menurut Sami Hamud—sebagaimana dikemukakan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah—adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan tsaman atau harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) dan simbol nilai (miqyas lil qiyam).
Artinya, “Nuqud atau uang adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan harga sesuatu dan ukuran atau simbol nilai,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, halaman 150).
Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, uang atau yang sering disebut naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat. Bisa terdiri dari logam atau kertas yang dicetak dan diterbitkan oleh lembaga keuangan yang memiliki otoritas untuk menerbitkannya.
Artinya, "Naqd atau mata uang adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas," (Lihat Muhammad Rawas Qal'ah Ji, Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashirah fi Dhau'il Fiqh was Syari'ah, Beirut, Darun Nafa'is, 1999 M, halaman 23).
Dari dua pengertian yang kami suguhkan tampak dengan jelas bahwa ternyata mengenai soal uang mengalami perubahan bentuk. Dulu yang digunakan adalah koin emas atau perak, tetapi sekarang keduanya sudah tidak berlaku di masyarakat umum. Sedang yang berlaku sekarang adalah uang kertas.
Karenaya, lebih lanjut menurut Sami Hamud, uang kertas sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) sehingga berlaku di dalamnya sifat ribawi dan terkena kewajiban zakat.
Artinya, “Karenanya, uang kertas yang sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu sehingga riba berlaku baginya dan terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat yang tepat,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalah Al-Maliyyah Al-Mu’ashirah, halaman 150).
Sifat ribawi ini memiliki konsekuensi uang tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai sebagaimana emas dan perak. Ia hanya bisa diperjualbelikan dengan yang sama dan sejenis serta tunai.
Artinya, "(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai," (HR Muslim).
Dengan berpijak pada penjelasan di atas, maka setidaknya dapat dipahami bahwa status hukum uang kertas adalah sama atau diqiyaskan dengan emas dan perak, dan sah untuk dibuat sebagai alat tukar atau transaksi. Dan pada uang kertas melekat sifat ribawi sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Kami ingin bertanya, bagaimanakah hukum uang kertas? Apakah sah digunakan dalam bertransaksi? Apakah terkandung serta mencakup unsur riba? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Fahri Adnan/Bogor)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Jika dicermati, maka pertanyaan yang diajukan kepada kami terkait dengan kedudukan hukum uang kertas sebagai alat transaksi dan kandungan ribawinya.
Sedangkan sekarang ini yang diberlakukan sebagai mata uang atau alat tukar untuk melakukan transaksi di masyarakat umum adalah uang kertas. Berbeda dengan dulu di mana emas atau perak yang digunakan sebagai alat tukar atau transaksi.
Dengan kata lain, mata uang emas atau perak sudah tidak berlaku pada saat ini. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah kedudukan atau status hukum uang kertas sama emas atau perak?
Pertama, yang harus dipahami adalah pengertian tentang uang. Uang menurut Sami Hamud—sebagaimana dikemukakan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah—adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan tsaman atau harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) dan simbol nilai (miqyas lil qiyam).
وَهِيَ كُلُّ مَا يُسْتَعْمَلُ أَدَاةً أَوْ وَسِيطًا لِلتَّبَادُلِ بِإعْتِبَارِهَا ثَمَنًا لِلْأَشْيَاءِ وَمِقْيَاسًا لِلْقِيَمِ  
Artinya, “Nuqud atau uang adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan harga sesuatu dan ukuran atau simbol nilai,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, halaman 150).
Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, uang atau yang sering disebut naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat. Bisa terdiri dari logam atau kertas yang dicetak dan diterbitkan oleh lembaga keuangan yang memiliki otoritas untuk menerbitkannya.
النَّقْدُ: مَا اتَّخَذَ النَّاسُ ثَمَنًا مِنَ الْمَعَادِنِ الْمَضْرُوْبَةِ أَوْ الأَوْرَاقِ الْمَطْبُوْعَةِ وَنَحْوِهَا، الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُؤَسَّسَةِ الْمَالِيَّةِ صَاحِبَةِ اْلاِخْتِصَاصِ
Artinya, "Naqd atau mata uang adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas," (Lihat Muhammad Rawas Qal'ah Ji, Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashirah fi Dhau'il Fiqh was Syari'ah, Beirut, Darun Nafa'is, 1999 M, halaman 23).
Dari dua pengertian yang kami suguhkan tampak dengan jelas bahwa ternyata mengenai soal uang mengalami perubahan bentuk. Dulu yang digunakan adalah koin emas atau perak, tetapi sekarang keduanya sudah tidak berlaku di masyarakat umum. Sedang yang berlaku sekarang adalah uang kertas.
Karenaya, lebih lanjut menurut Sami Hamud, uang kertas sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) sehingga berlaku di dalamnya sifat ribawi dan terkena kewajiban zakat.
فَيَكُونُ الْوَرَقُ النَّقْدِيُّ الْمُعَاصِرُ ثَمَنَ الْأَشْيَاءِ فَيَجْرِي فِيهِ الرِّبَا وَتَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَهُوَ رَأْيٌ سَدِيدٌ
Artinya, “Karenanya, uang kertas yang sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu sehingga riba berlaku baginya dan terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat yang tepat,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalah Al-Maliyyah Al-Mu’ashirah, halaman 150).
Sifat ribawi ini memiliki konsekuensi uang tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai sebagaimana emas dan perak. Ia hanya bisa diperjualbelikan dengan yang sama dan sejenis serta tunai.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
Artinya, "(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai," (HR Muslim).
Dengan berpijak pada penjelasan di atas, maka setidaknya dapat dipahami bahwa status hukum uang kertas adalah sama atau diqiyaskan dengan emas dan perak, dan sah untuk dibuat sebagai alat tukar atau transaksi. Dan pada uang kertas melekat sifat ribawi sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Kami ingin bertanya, bagaimanakah hukum uang kertas? Apakah sah digunakan dalam bertransaksi? Apakah terkandung serta mencakup unsur riba? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Fahri Adnan/Bogor)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Jika dicermati, maka pertanyaan yang diajukan kepada kami terkait dengan kedudukan hukum uang kertas sebagai alat transaksi dan kandungan ribawinya.
Sedangkan sekarang ini yang diberlakukan sebagai mata uang atau alat tukar untuk melakukan transaksi di masyarakat umum adalah uang kertas. Berbeda dengan dulu di mana emas atau perak yang digunakan sebagai alat tukar atau transaksi.
Dengan kata lain, mata uang emas atau perak sudah tidak berlaku pada saat ini. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah kedudukan atau status hukum uang kertas sama emas atau perak?
Pertama, yang harus dipahami adalah pengertian tentang uang. Uang menurut Sami Hamud—sebagaimana dikemukakan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah—adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan tsaman atau harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) dan simbol nilai (miqyas lil qiyam).
Artinya, “Nuqud atau uang adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan harga sesuatu dan ukuran atau simbol nilai,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, halaman 150).
Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, uang atau yang sering disebut naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat. Bisa terdiri dari logam atau kertas yang dicetak dan diterbitkan oleh lembaga keuangan yang memiliki otoritas untuk menerbitkannya.
Artinya, "Naqd atau mata uang adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas," (Lihat Muhammad Rawas Qal'ah Ji, Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashirah fi Dhau'il Fiqh was Syari'ah, Beirut, Darun Nafa'is, 1999 M, halaman 23).
Dari dua pengertian yang kami suguhkan tampak dengan jelas bahwa ternyata mengenai soal uang mengalami perubahan bentuk. Dulu yang digunakan adalah koin emas atau perak, tetapi sekarang keduanya sudah tidak berlaku di masyarakat umum. Sedang yang berlaku sekarang adalah uang kertas.
Karenaya, lebih lanjut menurut Sami Hamud, uang kertas sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) sehingga berlaku di dalamnya sifat ribawi dan terkena kewajiban zakat.
Artinya, “Karenanya, uang kertas yang sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu sehingga riba berlaku baginya dan terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat yang tepat,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalah Al-Maliyyah Al-Mu’ashirah, halaman 150).
Sifat ribawi ini memiliki konsekuensi uang tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai sebagaimana emas dan perak. Ia hanya bisa diperjualbelikan dengan yang sama dan sejenis serta tunai.
Artinya, "(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai," (HR Muslim).
Dengan berpijak pada penjelasan di atas, maka setidaknya dapat dipahami bahwa status hukum uang kertas adalah sama atau diqiyaskan dengan emas dan perak, dan sah untuk dibuat sebagai alat tukar atau transaksi. Dan pada uang kertas melekat sifat ribawi sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Kami ingin bertanya, bagaimanakah hukum uang kertas? Apakah sah digunakan dalam bertransaksi? Apakah terkandung serta mencakup unsur riba? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Fahri Adnan/Bogor)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Jika dicermati, maka pertanyaan yang diajukan kepada kami terkait dengan kedudukan hukum uang kertas sebagai alat transaksi dan kandungan ribawinya.
Sedangkan sekarang ini yang diberlakukan sebagai mata uang atau alat tukar untuk melakukan transaksi di masyarakat umum adalah uang kertas. Berbeda dengan dulu di mana emas atau perak yang digunakan sebagai alat tukar atau transaksi.
Dengan kata lain, mata uang emas atau perak sudah tidak berlaku pada saat ini. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah kedudukan atau status hukum uang kertas sama emas atau perak?
Pertama, yang harus dipahami adalah pengertian tentang uang. Uang menurut Sami Hamud—sebagaimana dikemukakan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah—adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan tsaman atau harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) dan simbol nilai (miqyas lil qiyam).
وَهِيَ كُلُّ مَا يُسْتَعْمَلُ أَدَاةً أَوْ وَسِيطًا لِلتَّبَادُلِ بِإعْتِبَارِهَا ثَمَنًا لِلْأَشْيَاءِ وَمِقْيَاسًا لِلْقِيَمِ  
Artinya, “Nuqud atau uang adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan harga sesuatu dan ukuran atau simbol nilai,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, halaman 150).
Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, uang atau yang sering disebut naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat. Bisa terdiri dari logam atau kertas yang dicetak dan diterbitkan oleh lembaga keuangan yang memiliki otoritas untuk menerbitkannya.
النَّقْدُ: مَا اتَّخَذَ النَّاسُ ثَمَنًا مِنَ الْمَعَادِنِ الْمَضْرُوْبَةِ أَوْ الأَوْرَاقِ الْمَطْبُوْعَةِ وَنَحْوِهَا، الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُؤَسَّسَةِ الْمَالِيَّةِ صَاحِبَةِ اْلاِخْتِصَاصِ
Artinya, "Naqd atau mata uang adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas," (Lihat Muhammad Rawas Qal'ah Ji, Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashirah fi Dhau'il Fiqh was Syari'ah, Beirut, Darun Nafa'is, 1999 M, halaman 23).
Dari dua pengertian yang kami suguhkan tampak dengan jelas bahwa ternyata mengenai soal uang mengalami perubahan bentuk. Dulu yang digunakan adalah koin emas atau perak, tetapi sekarang keduanya sudah tidak berlaku di masyarakat umum. Sedang yang berlaku sekarang adalah uang kertas.
Karenaya, lebih lanjut menurut Sami Hamud, uang kertas sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) sehingga berlaku di dalamnya sifat ribawi dan terkena kewajiban zakat.
فَيَكُونُ الْوَرَقُ النَّقْدِيُّ الْمُعَاصِرُ ثَمَنَ الْأَشْيَاءِ فَيَجْرِي فِيهِ الرِّبَا وَتَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَهُوَ رَأْيٌ سَدِيدٌ
Artinya, “Karenanya, uang kertas yang sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu sehingga riba berlaku baginya dan terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat yang tepat,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalah Al-Maliyyah Al-Mu’ashirah, halaman 150).
Sifat ribawi ini memiliki konsekuensi uang tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai sebagaimana emas dan perak. Ia hanya bisa diperjualbelikan dengan yang sama dan sejenis serta tunai.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
Artinya, "(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai," (HR Muslim).
Dengan berpijak pada penjelasan di atas, maka setidaknya dapat dipahami bahwa status hukum uang kertas adalah sama atau diqiyaskan dengan emas dan perak, dan sah untuk dibuat sebagai alat tukar atau transaksi. Dan pada uang kertas melekat sifat ribawi sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Kami ingin bertanya, bagaimanakah hukum uang kertas? Apakah sah digunakan dalam bertransaksi? Apakah terkandung serta mencakup unsur riba? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Fahri Adnan/Bogor)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Jika dicermati, maka pertanyaan yang diajukan kepada kami terkait dengan kedudukan hukum uang kertas sebagai alat transaksi dan kandungan ribawinya.
Sedangkan sekarang ini yang diberlakukan sebagai mata uang atau alat tukar untuk melakukan transaksi di masyarakat umum adalah uang kertas. Berbeda dengan dulu di mana emas atau perak yang digunakan sebagai alat tukar atau transaksi.
Dengan kata lain, mata uang emas atau perak sudah tidak berlaku pada saat ini. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah kedudukan atau status hukum uang kertas sama emas atau perak?
Pertama, yang harus dipahami adalah pengertian tentang uang. Uang menurut Sami Hamud—sebagaimana dikemukakan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah—adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan tsaman atau harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) dan simbol nilai (miqyas lil qiyam).
Artinya, “Nuqud atau uang adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan harga sesuatu dan ukuran atau simbol nilai,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, halaman 150).
Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, uang atau yang sering disebut naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat. Bisa terdiri dari logam atau kertas yang dicetak dan diterbitkan oleh lembaga keuangan yang memiliki otoritas untuk menerbitkannya.
Artinya, "Naqd atau mata uang adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas," (Lihat Muhammad Rawas Qal'ah Ji, Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashirah fi Dhau'il Fiqh was Syari'ah, Beirut, Darun Nafa'is, 1999 M, halaman 23).
Dari dua pengertian yang kami suguhkan tampak dengan jelas bahwa ternyata mengenai soal uang mengalami perubahan bentuk. Dulu yang digunakan adalah koin emas atau perak, tetapi sekarang keduanya sudah tidak berlaku di masyarakat umum. Sedang yang berlaku sekarang adalah uang kertas.
Karenaya, lebih lanjut menurut Sami Hamud, uang kertas sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) sehingga berlaku di dalamnya sifat ribawi dan terkena kewajiban zakat.
Artinya, “Karenanya, uang kertas yang sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu sehingga riba berlaku baginya dan terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat yang tepat,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalah Al-Maliyyah Al-Mu’ashirah, halaman 150).
Sifat ribawi ini memiliki konsekuensi uang tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai sebagaimana emas dan perak. Ia hanya bisa diperjualbelikan dengan yang sama dan sejenis serta tunai.
Artinya, "(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai," (HR Muslim).
Dengan berpijak pada penjelasan di atas, maka setidaknya dapat dipahami bahwa status hukum uang kertas adalah sama atau diqiyaskan dengan emas dan perak, dan sah untuk dibuat sebagai alat tukar atau transaksi. Dan pada uang kertas melekat sifat ribawi sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Kami ingin bertanya, bagaimanakah hukum uang kertas? Apakah sah digunakan dalam bertransaksi? Apakah terkandung serta mencakup unsur riba? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Fahri Adnan/Bogor)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Jika dicermati, maka pertanyaan yang diajukan kepada kami terkait dengan kedudukan hukum uang kertas sebagai alat transaksi dan kandungan ribawinya.
Sedangkan sekarang ini yang diberlakukan sebagai mata uang atau alat tukar untuk melakukan transaksi di masyarakat umum adalah uang kertas. Berbeda dengan dulu di mana emas atau perak yang digunakan sebagai alat tukar atau transaksi.
Dengan kata lain, mata uang emas atau perak sudah tidak berlaku pada saat ini. Dari sini kemudian muncul pertanyaan, apakah kedudukan atau status hukum uang kertas sama emas atau perak?
Pertama, yang harus dipahami adalah pengertian tentang uang. Uang menurut Sami Hamud—sebagaimana dikemukakan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah—adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan tsaman atau harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) dan simbol nilai (miqyas lil qiyam).
وَهِيَ كُلُّ مَا يُسْتَعْمَلُ أَدَاةً أَوْ وَسِيطًا لِلتَّبَادُلِ بِإعْتِبَارِهَا ثَمَنًا لِلْأَشْيَاءِ وَمِقْيَاسًا لِلْقِيَمِ  
Artinya, “Nuqud atau uang adalah setiap sesuatu yang digunakan sebagai media pertukaran yang mencerminkan harga sesuatu dan ukuran atau simbol nilai,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalatul Maliyyah Al-Mu’ashirah, Damaskus, Darul Fikr, cet ke-6, 1429 H/2008 M, halaman 150).
Sedangkan menurut Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, uang atau yang sering disebut naqd adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat. Bisa terdiri dari logam atau kertas yang dicetak dan diterbitkan oleh lembaga keuangan yang memiliki otoritas untuk menerbitkannya.
النَّقْدُ: مَا اتَّخَذَ النَّاسُ ثَمَنًا مِنَ الْمَعَادِنِ الْمَضْرُوْبَةِ أَوْ الأَوْرَاقِ الْمَطْبُوْعَةِ وَنَحْوِهَا، الصَّادِرَةِ عَنِ الْمُؤَسَّسَةِ الْمَالِيَّةِ صَاحِبَةِ اْلاِخْتِصَاصِ
Artinya, "Naqd atau mata uang adalah sesuatu yang dijadikan harga (tsaman) oleh masyarakat, baik terdiri dari logam atau kertas yang dicetak maupun dari bahan lainnya, dan diterbitkan oleh lembaga keuangan pemegang otoritas," (Lihat Muhammad Rawas Qal'ah Ji, Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashirah fi Dhau'il Fiqh was Syari'ah, Beirut, Darun Nafa'is, 1999 M, halaman 23).
Dari dua pengertian yang kami suguhkan tampak dengan jelas bahwa ternyata mengenai soal uang mengalami perubahan bentuk. Dulu yang digunakan adalah koin emas atau perak, tetapi sekarang keduanya sudah tidak berlaku di masyarakat umum. Sedang yang berlaku sekarang adalah uang kertas.
Karenaya, lebih lanjut menurut Sami Hamud, uang kertas sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu (tsamanul asyya`) sehingga berlaku di dalamnya sifat ribawi dan terkena kewajiban zakat.
فَيَكُونُ الْوَرَقُ النَّقْدِيُّ الْمُعَاصِرُ ثَمَنَ الْأَشْيَاءِ فَيَجْرِي فِيهِ الرِّبَا وَتَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، وَهُوَ رَأْيٌ سَدِيدٌ
Artinya, “Karenanya, uang kertas yang sekarang adalah cerminan harga bagi sesuatu sehingga riba berlaku baginya dan terkena kewajiban zakat. Ini adalah pendapat yang tepat,” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’amalah Al-Maliyyah Al-Mu’ashirah, halaman 150).
Sifat ribawi ini memiliki konsekuensi uang tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai sebagaimana emas dan perak. Ia hanya bisa diperjualbelikan dengan yang sama dan sejenis serta tunai.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
Artinya, "(Jual-beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai," (HR Muslim).
Dengan berpijak pada penjelasan di atas, maka setidaknya dapat dipahami bahwa status hukum uang kertas adalah sama atau diqiyaskan dengan emas dan perak, dan sah untuk dibuat sebagai alat tukar atau transaksi. Dan pada uang kertas melekat sifat ribawi sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan yang sama, sejenis, dan secara tunai.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan)
BACA JUGA
- 1Ini Lafal Niat Puasa Rajab
- 2PBNU: Awal Rajab 1439 Jatuh pada Senin 19 Maret 2018
- 3Doa Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada Malam Satu Rajab
- 4Cucu Syekh Abdul Qadir Jailani Bangga dengan NU dan Banser
- 5Ketentuan Waktu Puasa Rajab
- 6Jumlah Hari Puasa Rajab
- 7Ketika Habib Luthfi dan Habib Quraish Shihab Satu Panggung
- 8Hukum Anal Seks dalam Islam
- 9Tanggapan Ketum PBNU soal Ramalan Indonesia Bubar 2030
- 10Habib Luthfi Jelaskan Cara Mengenal dan Dikenal Allah
© 2015 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
 
Komentar
Posting Komentar