Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi

::: Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Nyai Hj. Aisyah Hamid Baidhowi (Ketum PP Muslimat NU 1995-2000, adik kandung Gus Dur, wafat pukul 12.50 WIB di RS Mayapada, Lebak Bulus, Jakarta. ::: Simak berbagai info NU Online melalui media sosial Twitter (@nu_online), Facebook (www.facebook.com/situsresminu), Instagram (@nuonline_id) :::: Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email redaksi[@]nu.or.id :::: Info pemasangan iklan, hubungi email rizky[@]nu.or.id atau telepon 021-3914014 :::

Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi

Kamis, 02 Maret 2017 03:00Risalah Redaksi
Bagikan   
Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi
Oleh Nadirsyah Hosen
Suatu malam Sayfuddin bermimpi berkunjung ke rumah Imam al-Ghazali. Dalam mimpi itu beliau seolah diberitahu untuk memasukinya dan melihat peti. Dia pun membukanya dan melihat jenazah Imam al-Ghazali. Lalu Sayfuddin menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan menciumnya.

Sayfuddin ini kelak dikenal dengan nama Imam Sayfuddin al-Amidi (1156-1233). Semula beliau mengikuti mazhab Hanbali sewaktu beliau masih kecil sesuai dengan lingkungannya saat itu. Kemudian beliau berguru pada Syekh Abul Qasim ibn Fadlan yang bermazhab Syafi'i. Sayfuddin Amidi juga lebih cocok dengan aqidah Asy'ariyah. Maka jadilah beliau seorang ulama terkemuka dari Mazhab Syafi'i yang Sunni Asy'ari. Dari Baghddad, beliau pindah ke Mesir dimana beliau mendapati fitnah dari sebagian pihak yang menuduhnya sesat, kemudian beliau pindah ke Damaskus dan menulis kitab Ushul al-Fiqh yang sangat terkenal, yaitu kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kitab ini merangkum dan menjelaskan masalah dalil dan kaidah istinbath dari empat kitab utama: al-'Amdal-Mu'tamadal-Burhan dan al-Mustasfa.

Nama kitab terakhir, al-Mustasfa, merupakan karya Imam al-Ghazali. Inilah pengaruh mimpi spiritual Sayfuddin al-Amidi yang mencium jenazah Imam al-Ghazali. Beliau sendiri menuturkan: "selepas mimpi itu aku berkata pada diriku sendiri untuk mengambil perkataan Imam al-Ghazali. Kemudian dalam waktu singkat aku hafal isi kitab al-Mustasfa karya Imam al-Ghazali". 

Murid Imam al-Amidi yang sangat terkenal adalah Syekh Izzudin Abdus Salam. Beliau berkata tentang gurunya: "Tidak saya pelajari kaidah-kaidah pembahasan kecuali dari Imam al-Amidi." Atau di kesempatan lain, "Tidak saya dengar pengajaran yang paling bagus mengenai kitab al-Wasith-nya Imam al-Ghazali seperti yang disampaikan oleh Imam al-Amidi" dan ungkapan-ungkapan senada lainnya yang mengagumi Imam al-Amidi. Syekh Izzudin ini pada masanya digelari Sulthan-nya ulama.

Salah satu pembahasan penting dalam kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Amidi adalah mengenai kedudukan Sunnah Nabi. Beliau mengemukakan bagaimana para pakar Ushul al-Fiqh berbeda pandangan mengenai perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar'i. Kemudian beliau memaparkan pandangannya.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan hal biasa yang dilakukan manusia pada umumnya seperti makan, minum, berdiri, dan duduk merupakan perkara mubah yang tidak memiliki konsekuensi hukum. 

Saya dapat tambahkan, hal ini dikarenakan semua manusia melakukannya dan Nabi Muhammad juga terikat dengan budaya setempat dalam cara makan dan minum. Ini boleh jadi masuk ke dalam kategori etika saja, bukan kategori hukum. Mengikutinya dibenarkan, tapi tidak menirunya tidak akan berdosa. Saya bisa beri contoh misalnya cara makan Rasul dengan 3 jari memang cocok dengan menu dan pola makan di Arab sana, tapi agak sulit diterapkan di tanah air pas lagi makan sayur lodeh atau di negeri lain yang makan pakai sumpit.

Kedua, ada perbuatan yang khususiyah dilakukan oleh Nabi. Perbuatan yang bagi umatnya sunnah, tapi wajib dilakukan Nabi seperti shalat tahajud. Atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya tapi secara khusus dibenarkan untuk Nabi, seperti menikahi perempuan lebih dari empat, dan berpuasa wishal (terus menerus tanpa berbuka). Sebagai manusia khusus, tentu ada amalan ataupun perlakuan khusus juga untuk beliau SAW. Khususiyah ini tidak berlaku untuk umat Islam dan karenanya tidak masuk kategori hukum.

Ketiga, perbuatan Nabi yang secara tegas dijelaskan sebagai pelaksanaan ataupun penjelasan terhadap ibadah seperti shalat dan haji berdasarkan dalil syar'i yang wjaib dijadikan pedoman oleh umat Islam. Misalnya Rasul bersabda: "ambillah cara manasik hajimu dari saya" atau "shalatlah kamu sebagaimana aku shalat". Perbuatan Rasul dalam hal ibadah kategori inilah yang memiliki konsekuensi hukum.

Penjelasan Imam al-Amidi ini sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai etika yang masuk kategori sunnah (perbuatan atau tradisi) Rasul dan mana contoh sunnah Rasul yang masuk kategori hukum, dan karenanya bisa bermakna wajib, mandub, atau mubah. Artinya tidak semua hal yang dianggap sunnah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan seperti yang dijelaskan di atas. 

Di atas etika dan hukum ada kategori yang paling puncak yaitu cinta. Mengikuti Rasul berdasarkan kecintaan kita kepada beliau SAW. Ini sudah melampaui kategori yang dipaparkan Imam al-Amidi. Ini hubungan khusus yang hanya bisa dinilai dengan sebuah rintihan dalam hening: Oh Muhammadku.

Indah wajahnya bagai purnama
Siapa melihatnya kan jatuh cinta
(Shalawat Cinta Uje)


Penulis adalah Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi
Oleh Nadirsyah Hosen
Suatu malam Sayfuddin bermimpi berkunjung ke rumah Imam al-Ghazali. Dalam mimpi itu beliau seolah diberitahu untuk memasukinya dan melihat peti. Dia pun membukanya dan melihat jenazah Imam al-Ghazali. Lalu Sayfuddin menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan menciumnya.

Sayfuddin ini kelak dikenal dengan nama Imam Sayfuddin al-Amidi (1156-1233). Semula beliau mengikuti mazhab Hanbali sewaktu beliau masih kecil sesuai dengan lingkungannya saat itu. Kemudian beliau berguru pada Syekh Abul Qasim ibn Fadlan yang bermazhab Syafi'i. Sayfuddin Amidi juga lebih cocok dengan aqidah Asy'ariyah. Maka jadilah beliau seorang ulama terkemuka dari Mazhab Syafi'i yang Sunni Asy'ari. Dari Baghddad, beliau pindah ke Mesir dimana beliau mendapati fitnah dari sebagian pihak yang menuduhnya sesat, kemudian beliau pindah ke Damaskus dan menulis kitab Ushul al-Fiqh yang sangat terkenal, yaitu kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kitab ini merangkum dan menjelaskan masalah dalil dan kaidah istinbath dari empat kitab utama: al-'Amdal-Mu'tamadal-Burhan dan al-Mustasfa.

Nama kitab terakhir, al-Mustasfa, merupakan karya Imam al-Ghazali. Inilah pengaruh mimpi spiritual Sayfuddin al-Amidi yang mencium jenazah Imam al-Ghazali. Beliau sendiri menuturkan: "selepas mimpi itu aku berkata pada diriku sendiri untuk mengambil perkataan Imam al-Ghazali. Kemudian dalam waktu singkat aku hafal isi kitab al-Mustasfa karya Imam al-Ghazali". 

Murid Imam al-Amidi yang sangat terkenal adalah Syekh Izzudin Abdus Salam. Beliau berkata tentang gurunya: "Tidak saya pelajari kaidah-kaidah pembahasan kecuali dari Imam al-Amidi." Atau di kesempatan lain, "Tidak saya dengar pengajaran yang paling bagus mengenai kitab al-Wasith-nya Imam al-Ghazali seperti yang disampaikan oleh Imam al-Amidi" dan ungkapan-ungkapan senada lainnya yang mengagumi Imam al-Amidi. Syekh Izzudin ini pada masanya digelari Sulthan-nya ulama.

Salah satu pembahasan penting dalam kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Amidi adalah mengenai kedudukan Sunnah Nabi. Beliau mengemukakan bagaimana para pakar Ushul al-Fiqh berbeda pandangan mengenai perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar'i. Kemudian beliau memaparkan pandangannya.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan hal biasa yang dilakukan manusia pada umumnya seperti makan, minum, berdiri, dan duduk merupakan perkara mubah yang tidak memiliki konsekuensi hukum. 

Saya dapat tambahkan, hal ini dikarenakan semua manusia melakukannya dan Nabi Muhammad juga terikat dengan budaya setempat dalam cara makan dan minum. Ini boleh jadi masuk ke dalam kategori etika saja, bukan kategori hukum. Mengikutinya dibenarkan, tapi tidak menirunya tidak akan berdosa. Saya bisa beri contoh misalnya cara makan Rasul dengan 3 jari memang cocok dengan menu dan pola makan di Arab sana, tapi agak sulit diterapkan di tanah air pas lagi makan sayur lodeh atau di negeri lain yang makan pakai sumpit.

Kedua, ada perbuatan yang khususiyah dilakukan oleh Nabi. Perbuatan yang bagi umatnya sunnah, tapi wajib dilakukan Nabi seperti shalat tahajud. Atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya tapi secara khusus dibenarkan untuk Nabi, seperti menikahi perempuan lebih dari empat, dan berpuasa wishal (terus menerus tanpa berbuka). Sebagai manusia khusus, tentu ada amalan ataupun perlakuan khusus juga untuk beliau SAW. Khususiyah ini tidak berlaku untuk umat Islam dan karenanya tidak masuk kategori hukum.

Ketiga, perbuatan Nabi yang secara tegas dijelaskan sebagai pelaksanaan ataupun penjelasan terhadap ibadah seperti shalat dan haji berdasarkan dalil syar'i yang wjaib dijadikan pedoman oleh umat Islam. Misalnya Rasul bersabda: "ambillah cara manasik hajimu dari saya" atau "shalatlah kamu sebagaimana aku shalat". Perbuatan Rasul dalam hal ibadah kategori inilah yang memiliki konsekuensi hukum.

Penjelasan Imam al-Amidi ini sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai etika yang masuk kategori sunnah (perbuatan atau tradisi) Rasul dan mana contoh sunnah Rasul yang masuk kategori hukum, dan karenanya bisa bermakna wajib, mandub, atau mubah. Artinya tidak semua hal yang dianggap sunnah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan seperti yang dijelaskan di atas. 

Di atas etika dan hukum ada kategori yang paling puncak yaitu cinta. Mengikuti Rasul berdasarkan kecintaan kita kepada beliau SAW. Ini sudah melampaui kategori yang dipaparkan Imam al-Amidi. Ini hubungan khusus yang hanya bisa dinilai dengan sebuah rintihan dalam hening: Oh Muhammadku.

Indah wajahnya bagai purnama
Siapa melihatnya kan jatuh cinta
(Shalawat Cinta Uje)


Penulis adalah Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Belajar Sunnah Nabi dari Imam Sayfuddin al-Amidi
Oleh Nadirsyah Hosen
Suatu malam Sayfuddin bermimpi berkunjung ke rumah Imam al-Ghazali. Dalam mimpi itu beliau seolah diberitahu untuk memasukinya dan melihat peti. Dia pun membukanya dan melihat jenazah Imam al-Ghazali. Lalu Sayfuddin menyingkap kafan yang menutupi wajahnya dan menciumnya.

Sayfuddin ini kelak dikenal dengan nama Imam Sayfuddin al-Amidi (1156-1233). Semula beliau mengikuti mazhab Hanbali sewaktu beliau masih kecil sesuai dengan lingkungannya saat itu. Kemudian beliau berguru pada Syekh Abul Qasim ibn Fadlan yang bermazhab Syafi'i. Sayfuddin Amidi juga lebih cocok dengan aqidah Asy'ariyah. Maka jadilah beliau seorang ulama terkemuka dari Mazhab Syafi'i yang Sunni Asy'ari. Dari Baghddad, beliau pindah ke Mesir dimana beliau mendapati fitnah dari sebagian pihak yang menuduhnya sesat, kemudian beliau pindah ke Damaskus dan menulis kitab Ushul al-Fiqh yang sangat terkenal, yaitu kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kitab ini merangkum dan menjelaskan masalah dalil dan kaidah istinbath dari empat kitab utama: al-'Amdal-Mu'tamadal-Burhan dan al-Mustasfa.

Nama kitab terakhir, al-Mustasfa, merupakan karya Imam al-Ghazali. Inilah pengaruh mimpi spiritual Sayfuddin al-Amidi yang mencium jenazah Imam al-Ghazali. Beliau sendiri menuturkan: "selepas mimpi itu aku berkata pada diriku sendiri untuk mengambil perkataan Imam al-Ghazali. Kemudian dalam waktu singkat aku hafal isi kitab al-Mustasfa karya Imam al-Ghazali". 

Murid Imam al-Amidi yang sangat terkenal adalah Syekh Izzudin Abdus Salam. Beliau berkata tentang gurunya: "Tidak saya pelajari kaidah-kaidah pembahasan kecuali dari Imam al-Amidi." Atau di kesempatan lain, "Tidak saya dengar pengajaran yang paling bagus mengenai kitab al-Wasith-nya Imam al-Ghazali seperti yang disampaikan oleh Imam al-Amidi" dan ungkapan-ungkapan senada lainnya yang mengagumi Imam al-Amidi. Syekh Izzudin ini pada masanya digelari Sulthan-nya ulama.

Salah satu pembahasan penting dalam kitab ushul al-fiqh karya Imam al-Amidi adalah mengenai kedudukan Sunnah Nabi. Beliau mengemukakan bagaimana para pakar Ushul al-Fiqh berbeda pandangan mengenai perbuatan Nabi yang menjadi dalil syar'i. Kemudian beliau memaparkan pandangannya.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan hal biasa yang dilakukan manusia pada umumnya seperti makan, minum, berdiri, dan duduk merupakan perkara mubah yang tidak memiliki konsekuensi hukum. 

Saya dapat tambahkan, hal ini dikarenakan semua manusia melakukannya dan Nabi Muhammad juga terikat dengan budaya setempat dalam cara makan dan minum. Ini boleh jadi masuk ke dalam kategori etika saja, bukan kategori hukum. Mengikutinya dibenarkan, tapi tidak menirunya tidak akan berdosa. Saya bisa beri contoh misalnya cara makan Rasul dengan 3 jari memang cocok dengan menu dan pola makan di Arab sana, tapi agak sulit diterapkan di tanah air pas lagi makan sayur lodeh atau di negeri lain yang makan pakai sumpit.

Kedua, ada perbuatan yang khususiyah dilakukan oleh Nabi. Perbuatan yang bagi umatnya sunnah, tapi wajib dilakukan Nabi seperti shalat tahajud. Atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya tapi secara khusus dibenarkan untuk Nabi, seperti menikahi perempuan lebih dari empat, dan berpuasa wishal (terus menerus tanpa berbuka). Sebagai manusia khusus, tentu ada amalan ataupun perlakuan khusus juga untuk beliau SAW. Khususiyah ini tidak berlaku untuk umat Islam dan karenanya tidak masuk kategori hukum.

Ketiga, perbuatan Nabi yang secara tegas dijelaskan sebagai pelaksanaan ataupun penjelasan terhadap ibadah seperti shalat dan haji berdasarkan dalil syar'i yang wjaib dijadikan pedoman oleh umat Islam. Misalnya Rasul bersabda: "ambillah cara manasik hajimu dari saya" atau "shalatlah kamu sebagaimana aku shalat". Perbuatan Rasul dalam hal ibadah kategori inilah yang memiliki konsekuensi hukum.

Penjelasan Imam al-Amidi ini sangat penting untuk meletakkan secara proporsional nilai etika yang masuk kategori sunnah (perbuatan atau tradisi) Rasul dan mana contoh sunnah Rasul yang masuk kategori hukum, dan karenanya bisa bermakna wajib, mandub, atau mubah. Artinya tidak semua hal yang dianggap sunnah Nabi itu hukumnya wajib kita laksanakan seperti yang dijelaskan di atas. 

Di atas etika dan hukum ada kategori yang paling puncak yaitu cinta. Mengikuti Rasul berdasarkan kecintaan kita kepada beliau SAW. Ini sudah melampaui kategori yang dipaparkan Imam al-Amidi. Ini hubungan khusus yang hanya bisa dinilai dengan sebuah rintihan dalam hening: Oh Muhammadku.

Indah wajahnya bagai purnama
Siapa melihatnya kan jatuh cinta
(Shalawat Cinta Uje)


Penulis adalah Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

KONTAK REDAKSI

Gedung PBNU Lt. 5
Jl. Kramat Raya 164
Jakarta 10430 - Indonesia
redaksi[at]nu.or.id

PERIKLANAN

Tel : 021 - 3914013
Fax : 021 - 3914014
marketing[at]nu.or.id

MEDIA PARTNER

TV9
Aswaja TV
NU TV
Radio NU
AULA
Majalah Risalah NU
164 Channel

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH IMPLEMENTASI STRATEGI

Pertempuran Permulaan

PROSES PRODUKSI DEPARTEMENT SPINNING IV