Kisah Gus Dur dan Shinta Nuriyah Tunda Malam Pertama hingga 3 Tahun

::: Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Nyai Hj. Aisyah Hamid Baidhowi (Ketum PP Muslimat NU 1995-2000, adik kandung Gus Dur, wafat pukul 12.50 WIB di RS Mayapada, Lebak Bulus, Jakarta. ::: Simak berbagai info NU Online melalui media sosial Twitter (@nu_online), Facebook (www.facebook.com/situsresminu), Instagram (@nuonline_id) :::: Kritik, saran, informasi atau artikel dapat dikirimkan kepada kami melalui email redaksi[@]nu.or.id :::: Info pemasangan iklan, hubungi email rizky[@]nu.or.id atau telepon 021-3914014 :::

Kisah Gus Dur dan Shinta Nuriyah Tunda Malam Pertama hingga 3 Tahun

Selasa, 13 September 2016 16:00Fragmen
Bagikan   
Kisah Gus Dur dan Shinta Nuriyah Tunda Malam Pertama hingga 3 Tahun
Gus Dur dan Shinta Nuriyah di pelaminan.
Bercerita tentang sosok Gus Dur memang tidak ada habisnya. Mulai dari saat masih aktif di Nahdlatul Ulama, tatkala menjadi presiden, memimpin partai politik dengan segala sisi-sisi kontoversialnya, konsistensinya dalam memperjuangkan kemanusiaan, hingga kisah cintanya pun rasanya tidak pernah bosan untuk dinikmati. Mungkin rasa candu itu bisa diibaratkan layaknya segelas kopi hitam yang harus tersedia di pagi hari bagi para penikmatnya.  

Membincang kisah romantisme Gus Dur dengan Shinta Nurya Dewi ternyata tidak semudah seperti anak muda di zaman ini yang bisa dibeli hanya dengan sekuntum bunga mawar. Bagaimana tidak sulit? Lah wongGus Dur sering ditolak kok sama Bu Sinta. Ah, masa seorang cucu pendiri NU, anak dari Mantan Menteri Agama bisa ditolak cewek? Begini ceritanya, romantisme jalinan cinta ini berawal dari sebuah pesantren di Jombang tempat Shinta Nuriya Dewi menuntut ilmu. Gus Dur muda yang saat itu menjadi guru sudah berani melamar Sinta yang masih berumur 13 tahun. Merasa masih sangat belia, kontan rasa cinta Gus Dur  ditolak oleh Shinta. 

Gus Dur segera meminang Shinta sebab dia akan pergi lama ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Gus Dur melakukan pendekatan intensif, berbagai strategi pun dia coba. Mulai dari main catur dengan ayah Shinta, kemudian berlanjut melakukan ‘PDKT’ ke ibunya, ke nenek, baru setelah itu ke Shinta langsung. Jadi, ibarat bus, kisah cinta Gus Dur ini harus melewati beberapa terminal pemberhentian. Namun berbagai usaha keras ini ternyata tidak juga menaklukan hati Shinta.

Sering mendapat penolakan, tidak juga membuat Gus Dur putus asa. Sebelum berangkat ke Mesir, Gus Dur melakukan strategi selanjutnya, seorang teman ia suruhlah mengantar surat yang isinya kurang lebih apakah Shinta bersedia menjadi istrinya. Si pengantar surat ini menunggu lama untuk mendapatkan jawaban dari Shinta yang kala itu sudah berumur 14 tahun. Shinta muda bimbang, mau menolak secara terang-terangan tapi dia juga sadar bahwa Gus Dur adalah gurunya. 

Alasan inilah yang membuat Shinta sedikit sungkan. Namun karena kejeniusannya, Shinta membalas surat tersebut dengan jawaban yang diplomatis. Dia menulis bahwa jodoh, hidup, dan mati seseorang itu ada di tangan Tuhan, kalau kita berjodoh, meski berjauhan pun nanti suatu saat juga akan dipertemukan, namun tatkala tidak berjodoh, meski dekat juga tidak akan bertemu. Dengan jawaban ngambang itulah akhirnya Gus Dur pergi ke Mesir tentu dengan perasaan sedih. 

Singkat cerita, di Mesir Gus Dur terlampau sibuk berorganisasi hingga kulianya pun tak semulus yang dikira. Selain itu, mata kuliah di sana kurang begitu greget bagi Gus Dur, pasalnya, materi yang di ajarkan sudah ia pelajari sebelumnya di Indonesia tatkala ia masih menjadi seorang santri. Akhirnya 2 tahun itu Gus Dur tak selesai kuliah, lalu pindah ke Irak. Selama di Mesir itulah Gus Dur dan Sinta saling mengirim surat. Kegiatan ini berlangsung hingga Gus Dur pindah ke Irak. 

Lambat laun, surat-surat yang dikirim Gus Dur itu akhirnya mampu mengetuk hati Shinta. Dalam surat balasannya, Shinta menulis Anda sudah berhasil menumbuhkan benih cinta di hati saya. Kontan hal ini membuat Gus Dur kembali sumringah. Begitu dapat surat itu tidak berapa lama keluarganya melamar. Akhirnya, 11 Juli 1968 pernikahan keduanya dilangsungkan. Gus Dur yang saat itu masih di Irak meminta agar diwakilkan  oleh kakeknya Kiai Bisri Syansuri yang berusia 68 tahun. Kontan meskipun sudah resmi menikah Gus Dur dan Shinta harus menunggu 3 tahun untuk melaksanakan bulan madu, ya nunggu Gus Dur pulang baru bisa merasakan indahnya malam pertama.***

Muhammad Faishol, mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini sebagai Chief Editor di Media Santri NU (MSN)/mediasantrinu.com, Santri Sholawatul Qur’an Banyuwangi dan Sabilurrosyad Gasek Malang.

Kisah Gus Dur dan Shinta Nuriyah Tunda Malam Pertama hingga 3 Tahun
Gus Dur dan Shinta Nuriyah di pelaminan.
Bercerita tentang sosok Gus Dur memang tidak ada habisnya. Mulai dari saat masih aktif di Nahdlatul Ulama, tatkala menjadi presiden, memimpin partai politik dengan segala sisi-sisi kontoversialnya, konsistensinya dalam memperjuangkan kemanusiaan, hingga kisah cintanya pun rasanya tidak pernah bosan untuk dinikmati. Mungkin rasa candu itu bisa diibaratkan layaknya segelas kopi hitam yang harus tersedia di pagi hari bagi para penikmatnya.  

Membincang kisah romantisme Gus Dur dengan Shinta Nurya Dewi ternyata tidak semudah seperti anak muda di zaman ini yang bisa dibeli hanya dengan sekuntum bunga mawar. Bagaimana tidak sulit? Lah wongGus Dur sering ditolak kok sama Bu Sinta. Ah, masa seorang cucu pendiri NU, anak dari Mantan Menteri Agama bisa ditolak cewek? Begini ceritanya, romantisme jalinan cinta ini berawal dari sebuah pesantren di Jombang tempat Shinta Nuriya Dewi menuntut ilmu. Gus Dur muda yang saat itu menjadi guru sudah berani melamar Sinta yang masih berumur 13 tahun. Merasa masih sangat belia, kontan rasa cinta Gus Dur  ditolak oleh Shinta. 

Gus Dur segera meminang Shinta sebab dia akan pergi lama ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Gus Dur melakukan pendekatan intensif, berbagai strategi pun dia coba. Mulai dari main catur dengan ayah Shinta, kemudian berlanjut melakukan ‘PDKT’ ke ibunya, ke nenek, baru setelah itu ke Shinta langsung. Jadi, ibarat bus, kisah cinta Gus Dur ini harus melewati beberapa terminal pemberhentian. Namun berbagai usaha keras ini ternyata tidak juga menaklukan hati Shinta.

Sering mendapat penolakan, tidak juga membuat Gus Dur putus asa. Sebelum berangkat ke Mesir, Gus Dur melakukan strategi selanjutnya, seorang teman ia suruhlah mengantar surat yang isinya kurang lebih apakah Shinta bersedia menjadi istrinya. Si pengantar surat ini menunggu lama untuk mendapatkan jawaban dari Shinta yang kala itu sudah berumur 14 tahun. Shinta muda bimbang, mau menolak secara terang-terangan tapi dia juga sadar bahwa Gus Dur adalah gurunya. 

Alasan inilah yang membuat Shinta sedikit sungkan. Namun karena kejeniusannya, Shinta membalas surat tersebut dengan jawaban yang diplomatis. Dia menulis bahwa jodoh, hidup, dan mati seseorang itu ada di tangan Tuhan, kalau kita berjodoh, meski berjauhan pun nanti suatu saat juga akan dipertemukan, namun tatkala tidak berjodoh, meski dekat juga tidak akan bertemu. Dengan jawaban ngambang itulah akhirnya Gus Dur pergi ke Mesir tentu dengan perasaan sedih. 

Singkat cerita, di Mesir Gus Dur terlampau sibuk berorganisasi hingga kulianya pun tak semulus yang dikira. Selain itu, mata kuliah di sana kurang begitu greget bagi Gus Dur, pasalnya, materi yang di ajarkan sudah ia pelajari sebelumnya di Indonesia tatkala ia masih menjadi seorang santri. Akhirnya 2 tahun itu Gus Dur tak selesai kuliah, lalu pindah ke Irak. Selama di Mesir itulah Gus Dur dan Sinta saling mengirim surat. Kegiatan ini berlangsung hingga Gus Dur pindah ke Irak. 

Lambat laun, surat-surat yang dikirim Gus Dur itu akhirnya mampu mengetuk hati Shinta. Dalam surat balasannya, Shinta menulis Anda sudah berhasil menumbuhkan benih cinta di hati saya. Kontan hal ini membuat Gus Dur kembali sumringah. Begitu dapat surat itu tidak berapa lama keluarganya melamar. Akhirnya, 11 Juli 1968 pernikahan keduanya dilangsungkan. Gus Dur yang saat itu masih di Irak meminta agar diwakilkan  oleh kakeknya Kiai Bisri Syansuri yang berusia 68 tahun. Kontan meskipun sudah resmi menikah Gus Dur dan Shinta harus menunggu 3 tahun untuk melaksanakan bulan madu, ya nunggu Gus Dur pulang baru bisa merasakan indahnya malam pertama.***

Muhammad Faishol, mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini sebagai Chief Editor di Media Santri NU (MSN)/mediasantrinu.com, Santri Sholawatul Qur’an Banyuwangi dan Sabilurrosyad Gasek Malang.

Kisah Gus Dur dan Shinta Nuriyah Tunda Malam Pertama hingga 3 Tahun
Gus Dur dan Shinta Nuriyah di pelaminan.
Bercerita tentang sosok Gus Dur memang tidak ada habisnya. Mulai dari saat masih aktif di Nahdlatul Ulama, tatkala menjadi presiden, memimpin partai politik dengan segala sisi-sisi kontoversialnya, konsistensinya dalam memperjuangkan kemanusiaan, hingga kisah cintanya pun rasanya tidak pernah bosan untuk dinikmati. Mungkin rasa candu itu bisa diibaratkan layaknya segelas kopi hitam yang harus tersedia di pagi hari bagi para penikmatnya.  

Membincang kisah romantisme Gus Dur dengan Shinta Nurya Dewi ternyata tidak semudah seperti anak muda di zaman ini yang bisa dibeli hanya dengan sekuntum bunga mawar. Bagaimana tidak sulit? Lah wongGus Dur sering ditolak kok sama Bu Sinta. Ah, masa seorang cucu pendiri NU, anak dari Mantan Menteri Agama bisa ditolak cewek? Begini ceritanya, romantisme jalinan cinta ini berawal dari sebuah pesantren di Jombang tempat Shinta Nuriya Dewi menuntut ilmu. Gus Dur muda yang saat itu menjadi guru sudah berani melamar Sinta yang masih berumur 13 tahun. Merasa masih sangat belia, kontan rasa cinta Gus Dur  ditolak oleh Shinta. 

Gus Dur segera meminang Shinta sebab dia akan pergi lama ke Mesir untuk melanjutkan studinya. Gus Dur melakukan pendekatan intensif, berbagai strategi pun dia coba. Mulai dari main catur dengan ayah Shinta, kemudian berlanjut melakukan ‘PDKT’ ke ibunya, ke nenek, baru setelah itu ke Shinta langsung. Jadi, ibarat bus, kisah cinta Gus Dur ini harus melewati beberapa terminal pemberhentian. Namun berbagai usaha keras ini ternyata tidak juga menaklukan hati Shinta.

Sering mendapat penolakan, tidak juga membuat Gus Dur putus asa. Sebelum berangkat ke Mesir, Gus Dur melakukan strategi selanjutnya, seorang teman ia suruhlah mengantar surat yang isinya kurang lebih apakah Shinta bersedia menjadi istrinya. Si pengantar surat ini menunggu lama untuk mendapatkan jawaban dari Shinta yang kala itu sudah berumur 14 tahun. Shinta muda bimbang, mau menolak secara terang-terangan tapi dia juga sadar bahwa Gus Dur adalah gurunya. 

Alasan inilah yang membuat Shinta sedikit sungkan. Namun karena kejeniusannya, Shinta membalas surat tersebut dengan jawaban yang diplomatis. Dia menulis bahwa jodoh, hidup, dan mati seseorang itu ada di tangan Tuhan, kalau kita berjodoh, meski berjauhan pun nanti suatu saat juga akan dipertemukan, namun tatkala tidak berjodoh, meski dekat juga tidak akan bertemu. Dengan jawaban ngambang itulah akhirnya Gus Dur pergi ke Mesir tentu dengan perasaan sedih. 

Singkat cerita, di Mesir Gus Dur terlampau sibuk berorganisasi hingga kulianya pun tak semulus yang dikira. Selain itu, mata kuliah di sana kurang begitu greget bagi Gus Dur, pasalnya, materi yang di ajarkan sudah ia pelajari sebelumnya di Indonesia tatkala ia masih menjadi seorang santri. Akhirnya 2 tahun itu Gus Dur tak selesai kuliah, lalu pindah ke Irak. Selama di Mesir itulah Gus Dur dan Sinta saling mengirim surat. Kegiatan ini berlangsung hingga Gus Dur pindah ke Irak. 

Lambat laun, surat-surat yang dikirim Gus Dur itu akhirnya mampu mengetuk hati Shinta. Dalam surat balasannya, Shinta menulis Anda sudah berhasil menumbuhkan benih cinta di hati saya. Kontan hal ini membuat Gus Dur kembali sumringah. Begitu dapat surat itu tidak berapa lama keluarganya melamar. Akhirnya, 11 Juli 1968 pernikahan keduanya dilangsungkan. Gus Dur yang saat itu masih di Irak meminta agar diwakilkan  oleh kakeknya Kiai Bisri Syansuri yang berusia 68 tahun. Kontan meskipun sudah resmi menikah Gus Dur dan Shinta harus menunggu 3 tahun untuk melaksanakan bulan madu, ya nunggu Gus Dur pulang baru bisa merasakan indahnya malam pertama.***

Muhammad Faishol, mantan wartawan Jawa Pos Radar Malang yang saat ini sebagai Chief Editor di Media Santri NU (MSN)/mediasantrinu.com, Santri Sholawatul Qur’an Banyuwangi dan Sabilurrosyad Gasek Malang.

KONTAK REDAKSI

Gedung PBNU Lt. 5
Jl. Kramat Raya 164
Jakarta 10430 - Indonesia
redaksi[at]nu.or.id

PERIKLANAN

Tel : 021 - 3914013
Fax : 021 - 3914014
marketing[at]nu.or.id

MEDIA PARTNER

TV9
Aswaja TV
NU TV
Radio NU
AULA
Majalah Risalah NU
164 Channel

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH IMPLEMENTASI STRATEGI

Pertempuran Permulaan

PROSES PRODUKSI DEPARTEMENT SPINNING IV